Suara itu benar-benar ada bag. 1
Oleh : Samsul basri
Prolog :
Ketika mata ini mulai melek di penghujung akhir malam, sadarlah aku bahwa Dia membangunkan aku dari mati kecil, Dia masih menginginkan udara ciptaan-Nya keluar masuk dalam rongga tubuh ini. Alhamdulillah Segera kupuji Tuhan yang masih mengembalikan ruh ini ke jasadnya dan tidak menahannya. kedua tangan dan kaki mulai dapat kugerakkan dengan sadar walau masih kudapati badan ini terebah di atas kasur dan terasa berat meninggalkannya. Seketika suara halus tedengar sangat lembut teruuus berbisik pelan,
Tidurlah lagi belum saatnya engkau bangun!, ayo tidurlah! Waktu malam masih panjang”. Kurasakan belaian angin malam yang dingin behembus masuk di selah-selah jendela kamar, seolah ada yang sengaja membiarkannya masuk sambil sesekali badan kubalikkan ke kanan dan ke kiri yang samakin merasakan nikmatnya berada di atas kasur, dan entah siapa kurasakan ada yang meniup-niup mata ini dengan tiupan yang lebih halus dari bisikan suara aneh itu. Maasya Allah, mata ini terasa berat dibuka dan…dan… pikiran ini sedikit demi sedikit hilang dan mulai kembali berlabuh ke alam tidak sadar. Aku merasa kalah, dan akan memanjakan jasad ini menuruti keinginannya untuk hilang ke alam itu. Suara aneh itu kembali berbisik pelan dan kurasakan semakin lembut, bahkan lebih lembut dari suara seorang ibu yang menyapih bayinya penuh kasih sayang sambil mencium bayinya. “Bagus, tidurlah jangan paksakan dirimu, kasihan jasadmu, ia sangat lelah, waktu malam masih panjang, ini kesempatan bagus bagimu. Jangan lewatkan nikmatnya tidur dengan cuaca dingin begini”. Dan….ssssttt…. aku kembali tertidur, walau sadarku masih belum sepenuhnnnya hilang dalam keremangan hitam, gelap..gelap dan semakin gelap.
“Bangunlah wahai jasad !, di sepertiga malam ini Rabbmu akan turun di langit pertama di langit bumi ini. Apakah engkau akan melewati kesempatan ini ?, kesempatan baik untuk mengemis pada-Nya?. Kesempatan yang belum tentu engkau dapatkan esok hari. Bangunlah!!!, Dia ingin mendengar keluhanmu dan menginginkan engkau terbuka tanpa harus malu pada-Nya. Dia berjanji padamu akan mengabulkan doamu bila engkau menengadah tangan penuh harap pada-Nya. Mengampuni dosamu bila engkau berterus terang pada-Nya. Dan mengokohkan jiwamu menata dan menghadapi hari esok. Apalagi yang kau tunggu ?!!!. ayo bangun !!!, jangan turuti keinginan jasadmu karena ia akan memperbudakmu bila engkau terus memanjakannya. Bangunlah ! banguuun!!!”..
“Masya Allah”, aku terhentak kaget. Suara teriakan itu jelas terdengar bagai halilintar menyambar pendengaran ini dan suara siapakah itu… tegas penuh wibawa… mataku terbuka lebar dan tak mau terpejam lagi, kauatur nafas biar jantung ini berdetak stabil, suara halus aneh yang tadinya memintaku tidur tak lagi terdengar, kubulatkan tekad menuruti suara aneh lain yang memintaku bangun dan segera berkhalwat pada-Nya. “Bismillah”, akhirnya aku berhasil melawan tuntutan jasadku yang selalu meminta kenikmatan sesaat. Aku bangun dan segera berbenah diri, dan entah kenapa ? di hati ini kutemukan ketidak sabaran untuk segera bersimpuh di hadapan-Nya. Dinginnya air untuk wudhu semakin menambah kenikmatan dan kerinduan, suara itu kembali berbisik gembira mungkin saja senang karena akhir malam ini dia behasil memenangkan diriku dari kelalaian, “Ketahuilah, semakin berat rintangan seseorang yang ingin kembali kepangkuan-Nya, semakin berat pula nilai pahala yang diperolehnya. Semakin dingin air untuk wudhu di waktu seperti ini semakin besar pula nilai pahalanya di sisi Rabbmu. Bergembiralah !!! karena tetesan air wudhumu itu akan menggugurkan dosamu”. Aku tersenyum entah kepada siapa, hanya saja suara itu kurasa semakin besahabat. Kuhampar sajadah karena dinginnya lantai mesjid memaksaku melakukan itu. “Allahu Akbar”, mulai kugerakkan lidah ini membaca doa iftitah, berta-audz’ mengucapkan basmalah lalu membaca surah Alfatiha. Masya Allah belum pernah aku melafadzkan bacaan itu setenang ini. Pada bacaan-bacaan surah yang lain kudapati diriku mulai cengeng pada-Nya, air bening dengan pelan dan lembut keluar dari kelopak mata ini tak tertahankan mengalir membelah pipiku. Aku semakin ingin cengeng pada-Nya, dan kubirakan air mata itu mengalir bak air bah yang jebol dari bendungan. Suara itu kembali terdengar dari dalam, halus dan lembut, “Menangislah!, Rabbmu semakin senang bila engkau menangis karena membaca ayat-ayat-Nya. Menangislah! Tangisilah dosa-dosa yang telah diperbuat jasadmu. Jangan malu pada-Nya”. Suara itu menguatkan hatiku untuk semakin cinta dengan kondisiku sekarang ini. Dalam setiap sujud aku bemunajat pada-Nya dan tak ingin melewatkan kesempatan itu. Aku terus larut dalam rakaat-rakaat sholat sambil terisak-isak tangis. Sayangnya, setelah beberapa rakaat jasad ini mulai lelah berdiri dan tangan ini pun terasa berat diangkat bertakbir. Kuakhiri shalat dengan salam, dan Kini kesedihanku semakin bertambah, betapa jasad ini tidak pernah mau merasa lelah bila disibukkan dengan urusan yang melalaikan ia kepada Allah, selalu ada energi cadangan untuk meneruskan aktivitasnya itu. Tapi lihatlah jasadku sekarang ini baru empat rakaat sudah merasa lelah dan letih. Kupejamkan mata ini lalu kubiarakan suara rintihan hatiku mengadu penuh harap kepada-Nya, “Ya Rabb, ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Hamba tak mampu memimpin jasad yang engkau amanahkan ini untuk betul-betul mentaati-Mu. Masih begitu banyak mata ini melihat yang bukan haknya, telinga ini mendengar yang bukan haknya, mulut ini berbicara yang bukan haknya. Kaki dan tangan ini masih banyak melangkah dan memegang yang bukan haknya. Serta hati dan pikiran ini masih jauh dari bedzikir dan bersyukur pada-Mu. Ampuni hamba ya Rabb!”. Aku semakin sedih karena benar-benar jasad ini terasa lelah dan tak kuat menambah rakaat lagi, dengan segenap kekuatan tersisa kusempurnakan sholat lail itu dengan tiga rakaat witir. Aku masih menyesali kelemahan badanku pada-Nya. Baginda Rasul yang mulia, yang telah dijamin surga oleh Allah dan telah dijamin dosanya yang telah lalu bahkan yang akan datang diampuni, tetap kuat berdiri di hadapan Rabb-Nya hingga kaki beliau bengkak-bengkak karena lamanya berdiri, begitu kata Aisyah r.ah. Namun siapakah yang menjamin aku?, kenapa kudapati jasad ini begitu sombong melangkah di permukaan bumi, begitu banyak seruan ajakan untuk kembali kepada Allah namun tidak berbekas dan tidak menggerakkan hati. Kalaupun ia memenuhi panggilan itu maka ada perasaan malas dan berat berlama-lama seperti yang kurasakan saat ini. “Ya Rabb, jangan cabut kekuatan ini dariku. Hamba masih ingin menangis di pangkuan-Mu. Masih banyak yang hamba pinta dari-Mu, ya Rabb..Rabb…….,”. Suara yang semakin kurindui dan kucintai itu berbisik pelan dan lembut,
“Jangan paksakan dirimu, Tuhanmu Yang Maha Rahman dan Rahim tidak membebankan sesuatu padamu melainkan dengan apa yang engkau sanggupi. Sebentar lagi seruan sholat subuh akan masuk, berilah hak bagi jasadmu untuk beristirahat agar ia kembali kuat bediri, rukuk dan sujud di waktu subuh. Dan ketahuilah amalanmu yang sedikit ini jauh lebih baik dari seribu karamah (kemuliaan) bila engkau istiqamah menjalankannya. Sekali lagi beristirahatlah karena Rasul yang diutus kepadamu pun beristirahat selepas sholat lail hingga bilal mengumandangkan adzan”.
Prolog :
Ketika mata ini mulai melek di penghujung akhir malam, sadarlah aku bahwa Dia membangunkan aku dari mati kecil, Dia masih menginginkan udara ciptaan-Nya keluar masuk dalam rongga tubuh ini. Alhamdulillah Segera kupuji Tuhan yang masih mengembalikan ruh ini ke jasadnya dan tidak menahannya. kedua tangan dan kaki mulai dapat kugerakkan dengan sadar walau masih kudapati badan ini terebah di atas kasur dan terasa berat meninggalkannya. Seketika suara halus tedengar sangat lembut teruuus berbisik pelan,
Tidurlah lagi belum saatnya engkau bangun!, ayo tidurlah! Waktu malam masih panjang”. Kurasakan belaian angin malam yang dingin behembus masuk di selah-selah jendela kamar, seolah ada yang sengaja membiarkannya masuk sambil sesekali badan kubalikkan ke kanan dan ke kiri yang samakin merasakan nikmatnya berada di atas kasur, dan entah siapa kurasakan ada yang meniup-niup mata ini dengan tiupan yang lebih halus dari bisikan suara aneh itu. Maasya Allah, mata ini terasa berat dibuka dan…dan… pikiran ini sedikit demi sedikit hilang dan mulai kembali berlabuh ke alam tidak sadar. Aku merasa kalah, dan akan memanjakan jasad ini menuruti keinginannya untuk hilang ke alam itu. Suara aneh itu kembali berbisik pelan dan kurasakan semakin lembut, bahkan lebih lembut dari suara seorang ibu yang menyapih bayinya penuh kasih sayang sambil mencium bayinya. “Bagus, tidurlah jangan paksakan dirimu, kasihan jasadmu, ia sangat lelah, waktu malam masih panjang, ini kesempatan bagus bagimu. Jangan lewatkan nikmatnya tidur dengan cuaca dingin begini”. Dan….ssssttt…. aku kembali tertidur, walau sadarku masih belum sepenuhnnnya hilang dalam keremangan hitam, gelap..gelap dan semakin gelap.
“Bangunlah wahai jasad !, di sepertiga malam ini Rabbmu akan turun di langit pertama di langit bumi ini. Apakah engkau akan melewati kesempatan ini ?, kesempatan baik untuk mengemis pada-Nya?. Kesempatan yang belum tentu engkau dapatkan esok hari. Bangunlah!!!, Dia ingin mendengar keluhanmu dan menginginkan engkau terbuka tanpa harus malu pada-Nya. Dia berjanji padamu akan mengabulkan doamu bila engkau menengadah tangan penuh harap pada-Nya. Mengampuni dosamu bila engkau berterus terang pada-Nya. Dan mengokohkan jiwamu menata dan menghadapi hari esok. Apalagi yang kau tunggu ?!!!. ayo bangun !!!, jangan turuti keinginan jasadmu karena ia akan memperbudakmu bila engkau terus memanjakannya. Bangunlah ! banguuun!!!”..
“Masya Allah”, aku terhentak kaget. Suara teriakan itu jelas terdengar bagai halilintar menyambar pendengaran ini dan suara siapakah itu… tegas penuh wibawa… mataku terbuka lebar dan tak mau terpejam lagi, kauatur nafas biar jantung ini berdetak stabil, suara halus aneh yang tadinya memintaku tidur tak lagi terdengar, kubulatkan tekad menuruti suara aneh lain yang memintaku bangun dan segera berkhalwat pada-Nya. “Bismillah”, akhirnya aku berhasil melawan tuntutan jasadku yang selalu meminta kenikmatan sesaat. Aku bangun dan segera berbenah diri, dan entah kenapa ? di hati ini kutemukan ketidak sabaran untuk segera bersimpuh di hadapan-Nya. Dinginnya air untuk wudhu semakin menambah kenikmatan dan kerinduan, suara itu kembali berbisik gembira mungkin saja senang karena akhir malam ini dia behasil memenangkan diriku dari kelalaian, “Ketahuilah, semakin berat rintangan seseorang yang ingin kembali kepangkuan-Nya, semakin berat pula nilai pahala yang diperolehnya. Semakin dingin air untuk wudhu di waktu seperti ini semakin besar pula nilai pahalanya di sisi Rabbmu. Bergembiralah !!! karena tetesan air wudhumu itu akan menggugurkan dosamu”. Aku tersenyum entah kepada siapa, hanya saja suara itu kurasa semakin besahabat. Kuhampar sajadah karena dinginnya lantai mesjid memaksaku melakukan itu. “Allahu Akbar”, mulai kugerakkan lidah ini membaca doa iftitah, berta-audz’ mengucapkan basmalah lalu membaca surah Alfatiha. Masya Allah belum pernah aku melafadzkan bacaan itu setenang ini. Pada bacaan-bacaan surah yang lain kudapati diriku mulai cengeng pada-Nya, air bening dengan pelan dan lembut keluar dari kelopak mata ini tak tertahankan mengalir membelah pipiku. Aku semakin ingin cengeng pada-Nya, dan kubirakan air mata itu mengalir bak air bah yang jebol dari bendungan. Suara itu kembali terdengar dari dalam, halus dan lembut, “Menangislah!, Rabbmu semakin senang bila engkau menangis karena membaca ayat-ayat-Nya. Menangislah! Tangisilah dosa-dosa yang telah diperbuat jasadmu. Jangan malu pada-Nya”. Suara itu menguatkan hatiku untuk semakin cinta dengan kondisiku sekarang ini. Dalam setiap sujud aku bemunajat pada-Nya dan tak ingin melewatkan kesempatan itu. Aku terus larut dalam rakaat-rakaat sholat sambil terisak-isak tangis. Sayangnya, setelah beberapa rakaat jasad ini mulai lelah berdiri dan tangan ini pun terasa berat diangkat bertakbir. Kuakhiri shalat dengan salam, dan Kini kesedihanku semakin bertambah, betapa jasad ini tidak pernah mau merasa lelah bila disibukkan dengan urusan yang melalaikan ia kepada Allah, selalu ada energi cadangan untuk meneruskan aktivitasnya itu. Tapi lihatlah jasadku sekarang ini baru empat rakaat sudah merasa lelah dan letih. Kupejamkan mata ini lalu kubiarakan suara rintihan hatiku mengadu penuh harap kepada-Nya, “Ya Rabb, ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Hamba tak mampu memimpin jasad yang engkau amanahkan ini untuk betul-betul mentaati-Mu. Masih begitu banyak mata ini melihat yang bukan haknya, telinga ini mendengar yang bukan haknya, mulut ini berbicara yang bukan haknya. Kaki dan tangan ini masih banyak melangkah dan memegang yang bukan haknya. Serta hati dan pikiran ini masih jauh dari bedzikir dan bersyukur pada-Mu. Ampuni hamba ya Rabb!”. Aku semakin sedih karena benar-benar jasad ini terasa lelah dan tak kuat menambah rakaat lagi, dengan segenap kekuatan tersisa kusempurnakan sholat lail itu dengan tiga rakaat witir. Aku masih menyesali kelemahan badanku pada-Nya. Baginda Rasul yang mulia, yang telah dijamin surga oleh Allah dan telah dijamin dosanya yang telah lalu bahkan yang akan datang diampuni, tetap kuat berdiri di hadapan Rabb-Nya hingga kaki beliau bengkak-bengkak karena lamanya berdiri, begitu kata Aisyah r.ah. Namun siapakah yang menjamin aku?, kenapa kudapati jasad ini begitu sombong melangkah di permukaan bumi, begitu banyak seruan ajakan untuk kembali kepada Allah namun tidak berbekas dan tidak menggerakkan hati. Kalaupun ia memenuhi panggilan itu maka ada perasaan malas dan berat berlama-lama seperti yang kurasakan saat ini. “Ya Rabb, jangan cabut kekuatan ini dariku. Hamba masih ingin menangis di pangkuan-Mu. Masih banyak yang hamba pinta dari-Mu, ya Rabb..Rabb…….,”. Suara yang semakin kurindui dan kucintai itu berbisik pelan dan lembut,
“Jangan paksakan dirimu, Tuhanmu Yang Maha Rahman dan Rahim tidak membebankan sesuatu padamu melainkan dengan apa yang engkau sanggupi. Sebentar lagi seruan sholat subuh akan masuk, berilah hak bagi jasadmu untuk beristirahat agar ia kembali kuat bediri, rukuk dan sujud di waktu subuh. Dan ketahuilah amalanmu yang sedikit ini jauh lebih baik dari seribu karamah (kemuliaan) bila engkau istiqamah menjalankannya. Sekali lagi beristirahatlah karena Rasul yang diutus kepadamu pun beristirahat selepas sholat lail hingga bilal mengumandangkan adzan”.
Komentar