oleh Muhammad Asfar
Mendengar Itu Mudah. Tapi Mendengar dengan Empati?
Kita semua bisa mendengar.
Tapi tidak semua bisa mengerti.
Karena mendengar sejati bukan tentang telinga tapi hati.
Empathic Listening — mendengar untuk memahami, bukan untuk merespons.
Kenapa
Mendengar Empatik Itu Sulit?
Karena kita sering:
- Terburu-buru memberi solusi
- Merasa tahu isi hati orang lain
- Tidak tahan dalam keheningan
- Ingin menunjukkan kita lebih tahu
Kita tidak sedang
mendengar untuk mengerti, tapi untuk menang.
Empati Bukan Diam. Tapi Hadir.
Mendengar dengan empati adalah hadir secara penuh.
Tanpa menghakimi. Tanpa langsung menyela. Tanpa mengalihkan cerita ke diri
sendiri.
Kalimat empati terdengar seperti:
- “Aku
bisa bayangkan betapa beratnya itu.”
- “Kamu nggak sendirian.”
- “Terima kasih sudah cerita. Aku dengerin, ya.”
Dan kadang… cukup diam dan hadir, sudah sangat menyembuhkan.
Bedakan Antara Respon dan Reaksi
Orang Reaktif |
Orang Empatik |
“Sudahlah, jangan lebay.” |
“Kedengarannya memang melelahkan…” |
“Kamu harusnya bersyukur, dong.” |
“Kamu merasa kecewa, ya?” |
“Wah, aku juga pernah lebih parah!” |
“Boleh aku temani dulu?” |
Perspektif Qurani tentang Mendengar
“Dan apabila orang-orang yang beriman diajak untuk
mendengarkan Al-Qur’an dan memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, niscaya
mereka mendapat rahmat.”
(QS. Al-A’raf: 204)
Allah mengajarkan bahwa mendengar dengan sepenuh hati adalah
pintu rahmat.
Kalau mendengarkan kalam-Nya harus dengan khusyuk dan sungguh-sungguh,
apalagi mendengarkan hamba-Nya yang sedang terluka?
Latihan Sederhana untuk Empathic Listening
- Tahan
untuk tidak menyela 3 menit pertama.
Biarkan orang selesai bicara. Dengarkan sepenuhnya. - Refleksikan,
bukan menyanggah.
Ucapkan: “Kamu merasa…”, “Kedengarannya kamu sedang…” - Jangan
buru-buru memberi solusi.
Kadang orang hanya ingin dimengerti, bukan diceramahi.
Pengalaman Pribadi
Saya pernah mendengar keluhan
seseorang yang tampak biasa, tapi ketika saya benar-benar diam dan mendengar,
saya tahu bahwa dia bukan sedang butuh solusi.
Dia hanya butuh ditemani, didengar
tanpa dinilai.
Dan saat saya belajar hadir dengan
empati, saya menyadari:
Keheningan yang tulus bisa lebih
menyembuhkan daripada seribu kata bijak.
“Mendengar dengan empati bukan kelemahan. Itu adalah
kekuatan spiritual — karena kita menanggalkan ego dan memilih untuk hadir.”
Dalam keluarga, di ruang kelas, di kantor — orang tidak
butuh kita menjadi luar biasa.
Mereka butuh kita untuk benar-benar ada.
Komentar